November 3, 2024 | admin

Kejagung Tanggapi Kasus Tom Lembong: Haruskah Ada Aliran Uang Dulu Baru Disebut Korupsi?

Kejagung Tanggapi Kasus Tom Lembong: Haruskah Ada Aliran Uang Dulu Baru Disebut Korupsi?

Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Thomas Trikasih Lembong, Menteri Perdagangan periode 2015-2016, sedang menjadi sorotan publik. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus impor gula, meski belum ada bukti aliran uang yang diterimanya. Kejagung menegaskan bahwa status tersangka dalam kasus korupsi tidak harus selalu disertai bukti penerimaan uang.

“Apakah harus ada aliran dana dulu baru disebut sebagai tindak pidana korupsi,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar dalam pernyataan resmi, Kamis (31/10/2024). Harli menjelaskan bahwa meski aliran dana ke Tom Lembong masih dalam proses penyelidikan, bukti yang ada sudah cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Kejagung menilai regulasi yang diteken Tom merugikan negara.

Regulasi yang Disoal

Kasus ini berawal dari kebijakan yang diambil Tom Lembong saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Pada 2016, Indonesia mengalami kekurangan stok gula kristal putih (GKP) yang dapat langsung dikonsumsi masyarakat. Seharusnya, impor GKP hanya dilakukan oleh BUMN dengan persetujuan rapat koordinasi antarkementerian. Namun, Tom justru memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk mengimpor gula kristal mentah (GKM) yang kemudian diolah menjadi GKP.

“Apakah peristiwa itu bisa muncul kalau tidak ada regulasi. Apakah regulasi itu benar?” tanya Harli, menekankan bahwa regulasi yang ditandatangani Tom Lembong memungkinkan sembilan perusahaan swasta untuk mengimpor GKM dan mengolahnya menjadi GKP. Tindakan ini dianggap bertentangan dengan ketentuan yang seharusnya berlaku.

Konteks Hukum

Pernyataan serupa disampaikan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar. Ia menjelaskan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa korupsi tidak selalu harus terkait dengan penerimaan keuntungan pribadi. “Dalam dua pasal ini disebutkan, seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana jika tindakannya menguntungkan pihak lain atau korporasi, meskipun dia sendiri tidak menerima keuntungan,” jelas Qohar.

Dari keterangan jaksa, Tom Lembong diketahui menandatangani persetujuan impor GKM untuk sembilan perusahaan swasta, termasuk PT PDSU, PT AF, dan PT BMM. Setelah diimpor, GKM ini diolah menjadi GKP dan dijual ke masyarakat dengan harga lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET). PT PPI, BUMN yang ditunjuk, hanya berperan formal dalam transaksi ini dan mendapatkan fee Rp 105 per kilogram, sedangkan keuntungan besar diperoleh oleh perusahaan swasta.

Kerugian Negara

Jaksa menyebut, pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 400 miliar. “Kerugian ini merupakan nilai keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara,” tegas Abdul Qohar. Regulasi yang diteken Tom Lembong, kata jaksa, memberi ruang bagi swasta untuk mendapatkan keuntungan besar, sementara peran BUMN dalam menjaga stabilisasi harga dan pasokan gula tidak dijalankan semestinya.

Kasus ini tidak hanya menyeret Tom Lembong, tetapi juga Charles Sitorus, mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI). Jaksa menilai keduanya memiliki peran kunci dalam perizinan impor GKM yang tidak sesuai ketentuan.

Tanggapan Kejagung

Kejagung memastikan bahwa penyidikan masih terus berlanjut untuk menelusuri aliran dana dan mengevaluasi sejauh mana peran para tersangka dalam kasus ini. “Kita sedang mendalami aliran dana karena untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka tidak harus ada bukti aliran dana ke orang tersebut. Yang penting, unsur perbuatan melawan hukum yang merugikan negara sudah terpenuhi,” kata Qohar.

Dengan bukti yang sudah dikumpulkan, Kejagung meyakini bahwa penetapan status tersangka pada Tom Lembong dapat dipertanggungjawabkan. Fokus penyidikan selanjutnya adalah mengungkap aliran dana lebih lanjut dan mencari keterlibatan pihak-pihak lain.

Kasus korupsi impor gula ini menjadi pengingat bahwa praktik korupsi tidak selalu terkait dengan penerimaan uang secara langsung. Kebijakan atau regulasi yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan negara tetap dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Publik menantikan hasil penyidikan selanjutnya, yang diharapkan dapat memberikan kejelasan lebih lanjut terkait aliran dana dan peran masing-masing tersangka.

Share: Facebook Twitter Linkedin